إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَاْلأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Dengan Kitab itu perkara orang-orang Yahudi oleh diputuskan para nabi yang berserah diri kepada Allah dan oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka karena mereka diperintahkan untuk memelihara kitab-kitab Allah; mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, janganlah kalian takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku. Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang Alloh turunkan, mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS al-Maidah [5]: 44).
Sabab Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Abu Hurairah ra. bertutur:
Rasulullah saw. yang sedang duduk di tengah-tengah para Sahabatnya didatangi orang-orang Yahudi. Mereka bertanya, “Wahai Abu al-Qasim, apa yang engkau katakan tentang seorang laki-laki dan perempuan yang berzina?” Beliau tidak mengeluarkan sepatah kata pun kepada mereka hingga Beliau sampai di rumah mereka yang menjadi tempat bacaan. Beliau berhenti di depan pintu dan bersabda, “Aku bersumpah atas nama Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa. Hukuman apa yang kalian temukan dalam Taurat terhadap orang muhshan yang berzina?” Mereka menjawab, “Wajahnya ditandai hitam, diarak di atas khimar, dan dicambuk.” Ada seorang pemuda di antara mereka yang diam. Ketika Rasulullah saw. melihat pemuda itu, Beliau menegaskan kembali penyumpahannya. Pemuda itu pun berkata, “Jika engkau menyumpah kami maka kami menemukannya di Taurat adalah rajam.” Nabi saw. bertanya, “Apa yang mengawali kalian mengurangi perintah Allah itu?” Dia menjawab, “Ada kerabat dari seorang raja yang berzina, lalu raja itu menunda pelaksanaan rajam. Setelah itu, ada seorang laki-laki yang berpengaruh di tengah masyarakat juga berzina. Ketika hendak dirajam, kaumnya mengelak seraya berkata, “Kami tidak akan merajam sahabat kami jika engkau tidak merajam sahabatmu.” Akhirnya di antara mereka pun terjadi kompromi dengan hukuman ini.” Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya aku menghukumi dengan apa yang ada dalam Taurat.” Beliau pun memerintahkan kedua pelaku perzinaan itu dirajam.
Az-Zuhri menyatakan, “Telah sampai kepada kami bahwa QS al-Maidah ayat 44 ini turun untuk mereka. Nabi saw. juga termasuk dari mereka (maksudnya ar-nabiyyûn al-ladzîna aslamû).” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Jarir).[1]
Tafsir Ayat
Dalam ayat sebelumnya, Allah Swt. mencela kaum Yahudi yang berpaling dari Taurat. Karena ulah tersebut, mereka dinyatakan bukan bagian dari kaum beriman (ayat 43). Setelah itu, Allah Swt. menjelaskan keutamaan Taurat: Innâ anzalnâ at-Tawrah fîhâ hudâ wa nûr (Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya ada petunjuk dan cahaya).
Taurat adalah nama kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Ditegaskan, di dalam Taurat itu ada hudâ wa nûr. Menurut al-Jazairi, hudâ adalah sesuatu yang mengantarkan pada maksud; nûr adalah segala sesuatu yang menunjukkan pada sasaran. Dalam konteks ayat ini, al-Jazairi menafsirkannya sebagai petunjuk dari semua kesesatan dan cahaya terang terhadap hukum-hukum, yang mengeluarkan dari gelapnya kebodohan.[2]
Setelah mendeskripsikan keutamaan Taurat, berikutnya tentang orang-orang yang mengamalkannya. Allah Swt berfirman: Yahkum bihâ an-nabiyyûn al-ladzîna aslamû li al-ladzîna hâdû wa ar-rabbâniyyûn wa al-ahbâr (Dengan Kitab itu perkara orang-orang Yahudi diputuskan oleh para -nabi yang berserah diri kepada Allah serta oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka). An-nabiyyûn di sini adalah para nabi yang diutus setelah Musa as. hingga Isa as.[3] Mereka disifati al-ladzîna aslamû (yang berserah diri). Artinya, mereka menyerahkan kendali mereka kepada Allah Swt. hingga tak tersisa pilihan bagi mereka.[4] Mereka pun tunduk dan patuh pada hukum Taurat dan memutuskan perkara dengannya.
Patut dicatat, sifat tersebut tidak membedakan mawshûf (perkara yang disifati) dengan yang lain. Ungkapan itu tidak menunjukkan adanya nabi yang tidak berserah diri. Penyebutan sifat tersebut dalam kerangka untuk memuji (shifah mâdihah atau ‘alâ sabîli al-madh),[5] sekaligus sebagai pujian bagi kaum Muslim, dan sindiran terhadap kaum Yahudi, bahwa mereka sesungguhnya telah keluar dari agama para nabi dan tidak lagi mengikuti petunjuk mereka.[6] Adapun penyebutan li al-ladzîna hâdû menunjukkan bahwa hukum Taurat memang khusus untuk kaum Yahudi.[7]
Kata ar-rabbâniyyûn, bentuk jamak dari ar-rabbânî, menurut Qatadah, Mujahid, dan al-Dhuhak, adalah fukaha. Adapun al-ahbâr, bentuk jamak dari al-habr, berarti orang alim dari kalangan Ahlul Kitab.[8]
Hukum Taurat itu berlaku hingga diutusnya Isa as. Setelah diutusnya Isa as., Bani Israil diperintahkan untuk berhukum dengan Injil (QS al-Maidah [5]: 46-47). Lalu setelah diutusnya Nabi Muhammad saw., mereka dan seluruh manusia wajib berhukum dengan al-Quran (QS al-Maidah [5]: 47).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: bimâ [i]stuhfizhû wa kânû ‘alayh syuhadâ’ (karena mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah; mereka menjadi saksi terhadapnya). Huruf bi buntuk menunjukkan sababiyyah. Artinya, mereka semua—para nabi, orang-orang alim dan para pendeta—memutuskan perkara kaum Yahudi dengan Taurat karena memang mereka diperintahkan untuk menjaga dan memelihara Taurat.
Menurut ar-Razi dan Abu Hayyan al-Andalusi, penjagaan dan pemeliharaan itu meliputi dua hal. Pertama, menjaganya dalam dada mereka dan mempelajarinya dengan lisan mereka. Kedua, menjaganya dengan mengamalkan hukum-hukumnya dan mengikuti syariahnya.[9]
Mereka pun diperintahkan menjadi saksi atas Taurat. Sebagian mufassir memaknai syuhadâ’ dengan ruqabâ’ (pengawas), artinya menjaga dari perubahan dan penggantian;[10] pengurangan dan penambahan;[11] menjadi saksi bahwa kitab itu benar-benar berasal dari-Nya;[12] serta menjelaskan apa yang tersembunyi di dalamnya.[13] Meskipun demikian, tetap saja ada di antara kaum Yahudi yang berupaya mengurangi, menambah, atau mengubahnya hingga Taurat menjadi sebagaimana saat ini.
Allah Swt. pun memerintahkan kaum Yahudi pada masa Rasulullah saw. dan sesudahnya untuk melenyapkan sikap-sikap yang dapat membuat mereka tidak konsisten dengan hukum-hukum-Nya. Pertama: takut kepada manusia. Allah Swt. berfirman: Falâ takhsyawû an-nâs wakhsyawni (Karena itu, janganlah kalian takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku).
Ketika memutuskan perkara dilandasi rasa takut kepada manusia, apalagi manusia yang ditakuti itu sedang dia adili, keputusan hukumnya pasti tidak adil. Takut kepada manusia juga menjadi pangkal penyebab perbuatan menelantarkan hukum-hukum Allah Swt., mengubah, atau mengingkarinya. Oleh sebab itu, mereka harus melenyapkan sikap itu dan menggantinya dengan sikap takut hanya kepada-Nya. Ketakutan terhadap Allah Swt. melahirkan keberanian untuk menghadapi risiko apa pun dalam menjalankan hukum-hukum-Nya.
Kedua: tamak terhadap harta dan kedudukan. Allah Swt. berfirman: Walâ tasytarû bi ayâtî tsaman qalîla (Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit). Ini merupakan larangan terhadap perbuatan memakan harta suht (harta haram, suap dan semcamnya) sebagai imbalan atas tindakan memutarbalikkan Kitab Allah dan mengubah hukum-hukumnya yang mereka lakukan.[14]
Kemudian Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-nya: Waman lam yahkum bimâ anzalaLlâh faulâika hum al-kâfirûn (Siapa saja yang tidak memutuskan perkasra menurut apa yang Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang yang kafir).
Para mufassir berbeda pendapat mengenai siapakah yang disebut dengan kâfirûn dalam ayat ini, dzâlimûn dalam ayat 45, dan fâsiqûn dalam ayat 47. Pertama: ayat ini hanya ditujukan untuk kaum kafir, tepatnya kaum Yahudi. Yang berpendapat seperti ini adalah al-Barra’ bin Azib, Abu Shalih, adh-Dhuhak, dan Ikrimah dalam satu riwayat.[15] Di antara alasannya, seorang Muslim yang melakukan dosa besar tidak bisa dinyatakan kafir karenanya.[16]
Kedua: ayat ini bersifat umum, meliputi semua orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Swt. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Mas‘ud, an-Nakhai,[17] Ibnu Abbas, Ibrahim, al-Hasan, as-Sudi,[18] Fakhruddin ar-Razi, Ibnu Athiyyah, al-Qinuji, as-Samarqandi, dan Mahmud Hijazi.[19] Alasan utamnya, sekalipun ayat ini turun berkenaan dengan kaum Yahudi, ungkapan kalimat tersebut bersifat umum. Kata man yang menjadi syarat itu memberikan makna umum, tidak dikhususkan kepada kelompok tertentu.[20]
Tampaknya, pendapat yang kedua ini lebih dapat diterima. Sebab, pemahaman itu didasarkan pada kaidah yang râjih, yakni: Al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafdz wa lâ bi khushûsh as-sabab” (Berlakunya hukum itu dilihat dari keumuman ungkapannya, bukan dari kekhususan sebabnya).
Status Orang yang Tidak Menerapkan Syariah
Meskipun bersifat umum, bukan berarti semua orang yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Alllah secara langsung dapat digolongkan sebagai kafir. Diperlukan pengkajian secara lebih cermat dan mendalam agar tidak jatuh dalam tindakan takfîr (pengkafiran) yang tidak pada tempatnya.
Perbuatan ‘memutuskan perkara dengan hukum Allah’ termasuk dalam wilayah syariah. Secara syar‘i, perbuatan tersebut termasuk dalam hukum wajib karena didasarkan pada dalil-dalil qath‘i (pasti), tsubût (penetapan sumber)-nya maupun dalâlah (penunjukan)-nya.
Di antara dalil-dalil itu adalah: perintah tegas untuk memutuskan perkara dengan apa yang Allah turunkan dan larangan mengikuti hawa nafsu kaum kafir (QS al-Maidah [5]: 48, 49); kewajiban menaati Allah Swt. dan Rasulullah saw. dan mengembalikan semua perkara yang diperselisihkan pada keduanya (QS an-Nisa’ [4]: 59); penolakan keimanan orang yang tidak mau berhukum kepada Rasulullah saw. (QS an-Nisa’ [4]: 65); ancaman ditimpakannya fitnah atau azab yang pedih atas orang yang menyimpang dari perintah Rasulullah saw. (QS an-Nur [24]: 63); celaan terhadap orang yang meminta keputusan hukum kepada thaghût (Qs an-Nisa’ [4]: 60); dan masih banyak lagi lainnya.
Sebagai persoalan yang termasuk dalam wilayah syariah, meninggalkan kewajiban ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan dosa. Tindakan itu seperti halnya memakan riba, membunuh, mencuri, atau berzina. Memang, perbuatan itu termasuk dalam dosa besar, tetapi tidak mengeluarkan seorang Muslim dari agamanya. Pelakunya juga tidak bisa disebut murtad karenanya.
Status kafir atau murtad baru dapat diberikan apabila sudah pada taraf mengingkari hukum-hukum-Nya. Jika sudah pada taraf pengingkaran, masalahnya bukan sekadar pelanggaran terhadap ketetapan hukum syariah, namun sudah masuk dalam wilayah akidah. Akidah inilah yang menjadi pembeda orang Mukmin dengan orang kafir.
Demikianlah pendapat para ulama ketika menjelaskan makna ayat ini. Ibnu Abbas mengatakan, “Siapa saja yang mengingkari apa saja yang Allah turunkan sungguh dia telah kafir. Siapa saja yang mengakuinya namun tidak berhukum dengannya, maka dia adalah zalim-fasik.”[21]
Ikrimah juga sejalan dengan pendapat tersebut.[22] Demikian pula Abu Hayyan al-Andalusi juga menyitir Ibnu Mas‘ud, Ibnu Abbas, dan al-Hasan yang menyatakan bahwa ayat ini turun untuk orang-orang yang mengingkari hukum Allah dan bersifat umum meliputi semua orang yang mengingkarinya.[23] Az-Zuhaili bahkan menyatakan, pandangan yang demikian itu merupakan pandangan jumhur Ahlussunnah.[24]
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.
Catatan kaki:
——————————————————————————–
[1] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 76.
[2] Al-Jazairi, Aysâr at-Tafâsîr li Kalâm al-‘Aliyy al-Kabîr, vol. I (tt: Nahr al-Khair, 1993), 635.
[3] As-Suyuti, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 506; Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol.2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 195; Mahmud Hijazi, At- Tafsîr al-Wadhîh, vol. 1 (Dar al-tafsir, 1992), 519; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), 205.
[4] Al-Biqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 459.
[5] Az-Zuhaili, Op. Cit., vol. 5, 202; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 53; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 3 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 426; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 503; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl wa fî Ma’â nî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 47; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl , vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 238; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, vol. 1, 267.
[6] Al-Baidhawi, Ibid., vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 267; Ibnu Juzyi al-Kalbi, Ibid., vol. 1, 238; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 144.
[7] Az-Zuhaili, Op. Cit., vol. 5, 205.
[8] As-Suyuti, Op. Cit., vol. 2, 506; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 590. al-Baghawi, Ma‘âlim al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 33; al-Jazairi, Op. Cit., vol. I, 635, dan Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol.2, 195.
[9] Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 12 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 5; Abu Hayyan al-Andalusi, Op. Cit., vol. 3, 504.
[10] Asy-Syaukani, Op. Cit., vol. 2, 53; al-Qinuji, Op. Cit., vol. 3, 426; az-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 624
[11] Al-Jazairi, Op. Cit., vol. I, 635.
[12] Az-Zuhaili, Op. Cit., vol. 5, 206.
[13] Al-Baidhawi, Op. Cit., vol. 1, 268
[14] Ath-Thabari, Op. Cit., 591; al-Baidhawi, Ibid., 268
[15] Ath-Thabari, Ibid., vol. 10, 593.
[16] Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. 2, 48.
[17] Al-Qinuji, Op. Cit., vol. 3, 428; al-Khazin, Ibid., vol. 2, 48.
[18] Ath-Thabari, Op. Cit., vol. 10, 593; al-Wahidi an-Naysaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 191.
[19] Ar-Razi, Op. Cit., vol. 12, 6; Ibnu ‘Athiyyah, Op., cit., vol.2, 196; Abu Hayyan al-Andalusi, Op. Cit., vol. 3, 55; al-Qinuji, Op. Cit., vol. 3, 427; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 439; Mahmud Hijazi, At-Tafsîr al-Wadhîh, vol. 1 (Kairo: Dar al-Tafsir, 1992), 519.
[20] Ar-Razi, Ibid., vol. 12, 6; asy-Syaukani, Op. cit., vol. 2, 53; al-Qinuji, Ibid., vol. 3, 428.
[21] Ath-Thabari, Op. Cit., vol. 10; al-Wahidi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2, 191; Ibnu Katsir, Op. Cit., vol. 2 , 80; asy-Syaukani, Ibid., vol. 2, 56; as-Samarqandi, Ibid., vol. 1, 439.
[22] Ar-Razi, Op. Cit., vol. 12, 6; az-Zuhaili, Op. Cit., vol. 5, 208.
[23] Abu Hayyan al-Andalusi, Op. Cit., vol. 3, 503
[24] Az-Zuhaili, Ibid., vol. 5, 206
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterimakasih ilmunya njeh gan, ijin ngikut
BalasHapushttp://situspolisi.blogspot.com/